"Nyet, Aku balik", sebuah pesan singkat yang saya kirimkan kepada sahabat saya sedari SMP. Waku itu Sehari sebelum Lebaran, saya menyempatkan diri pulang kampung untuk mengobati kerinduan saya kepada keluarga dan kepada suasana Lebaran di kampung halaman. "Aku yo balik Nyet, nek wes nang omah dolan omahku yo (Aku juga pulang nyet, kalau udah di rumah maen ke rumahku ya)", balas teman saya singkat.
"Nyet" adalah panggilan akrab kami, kami memanggil satu sama lain dengan sebutan "Nyet". Panggilan itu sudah kami gunakan dari dulu sebagai ajang saling mengolok-olok satu sama lain, yang kemudian menjadi sebuah kebiasaan.
Biar saya ceritakan kepada kalian, sebenarnya saya cukup iri dengan beberapa judul Novel luar negri maupun yang berdasarkan setting latar tempat di luar negri seperti Paris dan Newyork. Mereka dengan mudah menemukan judul yang penuh romansa dan melankolis seperti "Eiffel Im in Love" dan "Autmn in Paris", misalnya. Novel merekapun seketika menjadi bestseller di berbagai toko buku. Sedangkan jika saya mencari judul untuk beberapa cerita saya rasanya susah sekali, karena di Indonesia tidak ada autmn, summmer, winter, ataupun spring. Yang ada hanya Musim panas, hujan, pancaroba, musim buah-buahan dan musim haji.
Setelah hari lebaran tiba, saya berkunjung ke rumahnya. Masih seperti dulu, kami terasa begitu dekat dan akrab meski jarang bertemu. Obrolan kami terasa nyaman meski jarang berpapasan. Hari-hari yang paling menyenangkan itu dimulai. Sewaktu di Rumah kami sering keluar bersama. Kami berkeliling kota di Kaki Gunung Sindoro Sumbing itu dengan sepeda motor, tidak ada perasaan saling terikat namun rasanya menyenangkan dan bebas. Lepas dari kepenatan kerja dan mungkin rasa kesepian saya pun lepas bersama hawa dingin yang menusuk tulang.
Oiya, perkenalkan dahulu. Nama wanita itu sebut saja Muslimah Laila Oktavia. Ia seorang katolik dan mantan pacar saya sewaktu SMP, pacar pertama saya meski bukan cinta pertama saya.
.
"Haaaa?Namanya "Muslimah" tapi seorang katholik?" Tanya Asep, ojek payung yang mulai merambah dunia fotografi. Iya fotografi, hobi yang tengah digandrungi banyak anak muda ini ternyata juga menginspirasi Asep. Namun kali ini saya tidak akan bercerita tentang Asep.
Sebenarnya Namanya Adalah "M*******a L****a Oktavia", ia adalah pemeluk katholik yang taat pun dengan keluarganya yang cukup religius. Namun keluarganya tidak pernah melarang ia bergaul dengan siapa saja. Bahkan saya sudah diterima baik dengan orang tuanya yang telah seperti orang tua kedua saya.
Saya pernah mengajukan pertanyaan kepadanya, Apakah kami berdua ada peluang. "Susah Nyet, keyakinan tidak bisa dipaksakan". "Kalaupun kita bisa sama-sama, aku lebih gak tega lagi sama orang tua aku" Jawab ia lirh. Kegundahan tertangkap dari ekspresi mukanya, binar di matanya redup.
Sebenarnya saya tidak pernah mempersoalkan perbedaan Agama di antara kami, namun ketika ia mulai menjelaskan tentang ketidaktegaannya ia kepada orangtuanya, saya sepenuhnya mengerti, dan kami berdua pun menyerah untuk mengerti.
Sore itu sebelum saya kembali ke Jakarta saya menyempatkan berpamitan dengan Muslimah dan keluarganya. Tidak ada I heart you atau I'll miss you. Hanya perpisahan kecil antar sahabat dan pesan-pesan kecil dari orang tua kepada anaknya yang akan kembali merantau.
"Dan Kalau ia bicara padamu percayalah kepadanya
Walau suaranya bisa membuyarkan mimpi-mimpimu bagai angin utara mengobrak-abrik taman
Karena sebagaimana ia memahkotai engkau
Demikian pula ia kan menyalibmu"
Perasaan yang saya bawa ke dalam bus antar propinsi saat itu beribu kali lipat lebih dari puisi Kahlil Gibran tersebut, "melowdramatic". Sedikit mengutip Iwan Setyawan dalam novel 9 Summer 10 Autmn, " Cause Interfaith Love is Never Easy, Cause Longdistance Relationship is never easy, Here In Jakarta City".